Nama : Noviana Ekawati
NIM : 1402408244
7. TATARAN LINGUISTIK
SEMANTIK
Bahasa merupakan satu tataran linguistik,status tataran semantik dengan tataran fonologi,morfologi dan sintaksis adalah tidak sama, sebab secara hierarkial satuan bahasa yang disebut wacana, dan dibangun oleh kalimat, satuan kalimat dibangun dengan klausa, satuan klausa dibangun oleh frase, satuan frase dibangun oleh kata, satuan kata dibagnun oleh morfem, satuan morfem dibangun oleh fonem, dan akhirnya satuan fonem dibangun oleh fon atau bunyi.Semantik dengan obyeknya yakni makna, berada diseluruh atau berada disemua tataran yang bangun membangun ini,makna berada di didalam tataran fonologi,morfologi, dan sintaksis. Hockett(1945), salah seorang strukturalis menyatakan bahwa bahasa adalah suatu suatu sistem yang kompleks dari kebiasaan-kebiasaan. Sistem bahasa ini terdiri dari lima subsistem yaitu subsistem gramatika,subsistem fonologi, subsistem morfofonemik, subsistem semantik, dan subsistem fonemik. Subsistem gramatika,fonologi, dan morfofonemik bersifat sentral. Sedangkan subsistem semantik dan fonetik bersifat poriferal, karena seperti pendapat kaum strukturalis umumnya, bahwa makna yang menjadi objek semantik adalah sangat tidak jelas, tak dapat diamati secar empiris. Chomsky, bapak linguistik transformasi,dalam bukunya yang pertama (1957) tidak menyinggung-nyinggung masalah makna. Dalam bukunya yang kedua (1965) beliau menyatakan bahwa semantik merupakan salah satu komponen dari tata bahasa (dua komponen lain adalah sintaksis dan fonologi), dan makna kalimat sangat ditentukan oleh komponen semantik ini. Bapak Linguistik modern, Ferdinand de saussure, bahwa tanda linguistik (signe linguistique) terdiri dari komponen signifian dan signifie, merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
7.1 HAKIKAT MAKNA
Ferdinand de Saussure berpendapat bahwa setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu kkomponen signifian atau “yang mengartikan” yang wujudnya berupa runtunan bunyi dan komponen signifie atau “yang diartikan” yang wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang dimiliki oleh signifian). Menurutnya bahawa makna adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Kalau tanda linguistik itu disamakan identitasnya dengan kata atau leksem, maka berarti makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap kata atau leksem,kalau tanda linguistik itu disamakan identitasnya dengan morfem, maka berarti makan itu adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap morfem,baik yang disebut morfem dasar maupun morfem afiks. Kridalaksaa (1989) misalnya, yang menyatakan setiap tanda bahasa 9yagn disebutnya penanda) tentu mengacu pada sesuatu yagn ditandai (disebut petanda) Karena afiks-afiks itu juga merupakan penanda, maka afiks itu pun mempunyai petanda. Ada teori lain yang menyatakan makna itu tidak lain daripada sesuatau atau referen yagn diacu oleh kata atau leksem itu. Hanya perlu dipahami bahwa tidak semua kata atau leksem itu mempunyai acuan konkret didunia nyata. Misalnya leksem seperti agama,kebudayaan dan keadilan tidak dapat ditampilkan referennya secara konkret. Kita baru dapat menentukan makna sebuah kat apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya.Contoh makna kata jatuh dalam kalimat-kalimat berikut: 1) Adik jatuh dari sepeda, 2) Dia jatuh dalam ujian yang lalu, 3) Dia jatuh cinta pada adikku, 4) Kalau harganya jatuh lagi kita akan bangkrut. Menyatakan bahwa makna kalimat baru dapat ditentukan apabila kalimat itu berada didalam konteks wacananya atau konteks situasinya. Yang harus diingat bahasa bersifat arbiter, maka hubungan antar kata dan maknanya juga bersifat arbiter.
7.2 JENIS MAKNA
Makna bahasa itu menjadi bermacam-macam bila dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda. Berbagai nama jenis makna telah dikemukakan orang dalam berbagai buku linguistik atau semantik.
7.2.1 Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apa pun. Makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita atau makna apa adanya. Sedangkan makna gramatikal baru ada jika terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi. Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang erada di dalam satu konteks. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat,waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa itu.
7.2.2 Makna Refrensial dan Non-refrensial
Sebuah kaa atau leksem disebut bermakna referensial kalau ada referensnya atau acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar termasuk kata-kata yang bermakna referensial karena ada acuran dalam dunia nyata. Kata-kata seperti dan, atau, dan karena adalah termasuk termasuk kata-kata yang tidak bermakna ferensial, karena kata-kata itu tidak mempunyai referens.
Yang disebut kata- kata deiktik, dan acuannya tidak menetap pada satu maujud,melainkan dapat berpindah dari maujud yang satu kepsa maujud yang lain. Kata- kata deiktik ini adalah kata- kata yang termasuk pronomina, seperti dia, saya,dan kamu,kata- kata yang menyatakan ruang seperti di sini,di sana, di situ, kata-kata yang menyatakan waktu seperti sekarang,besok, dan nanti, kata-kata yang disebut kata penunjuk seperti ini dan itu.
7.2.3 Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli,makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Makna denotatif sebenarnya sama dengan makna leksikal. Contoh kata kurus yagn bermakna denotatif ‘keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal’. Makna konotatif adalah makna lain yang “ditambahkan” pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rada dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Contoh kurus,ramping, dan kerempeng dapat kita simpulkan,bahwa ketiga kata itu secara denotatif mempunyai makna yag sama atau bersinonim, tetapi ketiganya memiliki konotasi yagn tidak sama, kurus berkonotasi netral, ramping berkonotasi pisitif, dan kerempeng berkonotasi negatif. Dan harus diingat bahwa konotasi sebuah kata bisa berbeda antara seseorang dengan orang lain, antara satu daerah dengan daerah lain, atau antara satu masa dengan masa yang lain.
7.2.4 Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal,makna denotatif dan makna referensial.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatau yang berada diluar bahasa. Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambang yagn digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan atau ciri yang ada pada konsep asal kata atau leksem tersebut.Oleh Leech kedalam asosiatif ini dimasukkan juga yang disebut makna konotatif,makna stilistika,makna afektif, dan makna kolokatif.Termasuk dalam masa asosiatif adalah kata-kata tersebut beasosiasi dengan nilai rasa terhadap kata itu.Makna stilistika berkenaan dengan pembedaan penggunaan kata sehubungan dengan perbedaan sosial atau bidang kegiatan. Makna afektif berkenaan dengan perasaan pembicara terhadap lawan icara atau terhadap lawan bicara atau terhadap objek yang dibicarakan. Makna afektif lebih nyata terasa dalam bahasa lisan. Makna kolokatif berkenaan dengan ciri-ciri makna terentu yang dimiliki sebuah kata dari sejumlah kata-kata yang bersinonim,sehingga kata tersebut hanya cocok untuk digunakan berpasangan dengan kata tertentu lainnya.
7.2.5 Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap kata atau leksem memiliki makna, makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal,makna denotatif,atau makna konseptual.Sedangkan istilah mempunyai makna yang pasti,yag jelas,yang tidak meragukan,meskipun tanpa konteks kalimat. Istilah itu bebas konteks,sedangkan kata tidak bebas konteks.Istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.
Dalam perkembangan bahasa memang ada sejumlah istilah,yang karena sering digunakan, lalu menjadi kosakata umum. Artinya istilah itu tidak hanya digunakan di dalam bidang keilmuannya,tetapi juga telah digunakan secara umum,diluar bidangnya. Misalnya istilah aksptor, dan kalimat telah menjadi kosakata umum, tetapi istilah debil,embisil, alofon dan fariansimasih tetap sebagai istilah dalam bidangnya,belum menjadi kosakata umum.
7.2.6 Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna unsur-unsurnya,baik secara leksikal maupun secara gramatikal.Contoh adalah bentuk membanting tulang dengan makna ‘bekerja keras’, meja hijau dengan makna ‘pengadilan’, dan sudah beratap seng dengan makna ‘sudah tua’. Ada dua macam idiom yaitu idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang semua unsur-unsurnya sudah melebur menjadi satu-kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu.Contohnya membanting tulang,menjual gigi, dan meja hijau. Sedangkan idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Contohnya adalah buku putih yang bermakna ‘buku yang memuat keterangan resmi mengenai suatu kasus’. Idiom yang maknanya tidak dapat “diramalkan” secara leksikal maupun ramatikal,maka yang disebut pribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya “asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa.
7.3 RELASI MAKNA
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa di sini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat, dan relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan makna,pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan makna, atau juga keebihan makna. Relasi makna ini dibicarakan masalah-masalah antara lain:
7.3.1 Sinonim
Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Misalnya kata betul dengan kata benar. Relasi sinonim bersifat dua arah. Maksudnya kalau satu satuan ujaran A bersinonim dengan satuan ujaran B maka satuan ujaran B itu bersinonim dengan satuan ujaran A. Dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama. Ketidaksamaan itu terjadi karena erbagai faktor antara lain yaitu faktor waktu,faktor tempat dan wilayah, faktor sosial, fakor bidang kegiatan, dan faktor nuansa makna. Dari keenam faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa dua buah kata yang bersinonim tidak akan selalu dapat dipertukarkan atau disubstitusikan
7.3.2 Antonim
Antonim atau antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain. Misalnya kata buruk berantonim dengan kata baik. Hubungan antara dua sauan ujaran yang berantonim bersifat dua arah. Dilihat dari sifat hubungannya, maka antonimi itu dapat dibedakan atas beberapa jenis yaitu 1) antonimi bersifat mutlak,antonimi bersifat relatif atau bergradasi, contoh kata mati erantonim dengan hidup. 2) antonimi yang bersifat relatif atau bergradasi contoh antara kata jauh dan dekat. Jenis antonim ini disebut bersifat relatif , karena batas antara satu dengan yanga lainnya tidak dapat ditentukan secara jelas,batasnya itu dapat bergerak menjadi lebih atau menjadi kurang. 3) Antonimi yang bersifat realsional,karena munculnya yang satu harus disertai dengan yang lain,contohnya antara kata membeli dan menjual. 4) Antonimi yang bersifat hierarkial,kaena kedua satuan ujaran yang berantonim itu berada dalam satu garis jenjang atau hierarki,contohya antara kata gram dan kilogram. Ada satuan ujaran yang memiliki pasangan antonim lebih dari satu yang disebut antonim majemuk. Contohnya kata diam yang dapat berantonim dengan kata berbicara.
7.3.3 Polisemi
Sebuah kata atau satuan disebut polisemi kalau itu mempunyai makna lebih dari satu. Dalam kasus polisemi ini biasanya makna pertama (yang didaftarkan didalam kamus) adalah makna sebenarnya,makna leksikelnya,makna denotatif, atau makna konseptualnya. Yang lain adalah makna-makna yang dikembangkan berdasarkan salah satu komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu. Makna-makna pada sebuah kata atau satuan ujaran yang polisemi ini masih berkaitan satu dengan yang lain.
7.3.4 Himonimi
Himonimi adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama, maknanya tentu saja berbeda,karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Relasi antara dua buah satuan ujaran yang berhomonimi juga berlaku dua arah. Homonimi ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan yaitu homofoni dan homografi. Homofoni adalah adanya kesamaan bunyi (fon) antara dua satuan ujaran,tanpa memperhatikan ejaannya,apakah ejaannya sama ataukah berbeda. Contohnya adalah kata bank ‘lembaga keuangan’ dengan kata bang ‘kakak laki-laki’. Sedangkan homografi mengacu pada bentuk ujaran yang sama ortografinya atau ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama. Contoh kata teras yagn mempunyai dua makna yaitu inti dan bagian serambi rumah. Karena homografi ini berkenaan dengan tulisan atau ortografi, maka dalam bahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Arab,seperti masih digunakan di Malaysia dan Brunei Darusalam, akan banyak kita jumpai bentuk-benuk homograf.
7.3.5 Hiponimi
Hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Relasi hiponimi bersifa searah, bukan dua arah. Contohnya adalah merpati berhiponim dengan burung, maka burung bukan berhiponim dengan merpati melainkan berhipernim. Dengan kata lain, kalau merpati adalah hiponim dari burung, maka burung adalah hipernim dari merpati. Ada juga yang menyebut burung adalah superordinat dari merpati (dan tentu saja dari tekukur,dari perkutut, dari balam,dari kepodang dan dari jenis burung lainnya). Hubungan antara merpati dengan tekukur,perkutut,dan jenis burung lainnya adalah kohiponim dari burung..Dalam penyusunan klasifikasi ini kita berusaha mengelompokkan bentuk-bentuk ujaran yang secara semantik menyatakan generik dan spesifik , maka ada kemungkinan sebuah bentuk ujaran yang merupakan generik dari sejumlah bentuk spesifik, akan menjadi nama spesifik dari generik yang lebih luas lagi. Misalnya burung yang menjadi generik,atau hipernim atau superordinat dari merpati,tekukur,perkutut, dan kepodang akan menjadi hiponim dari unggas. Sedangkan contoh lain jendela dan pintu hanyalah bagian atau komponen dari ruamh. Namanya yang tepat adalah partonimi atau meronimi.
7.3.6 Ambiguiti atau Ketaksaan
Ambiguiti atau ketaksaan adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Umumnya terjadi pada bahasa tulis,karena dalam bahasa tulis unsur suprasegmental tidak dapat digambakan dengan akurat. Namun ketaksaan itu dapat terjadi dalam bahasa lisan meskipun intonasinya tepat. Ketaksaan.Misalnya bentuk buku sejarah baru dapat ditafsirkan maknanya menjadi ‘buku sejarah itu baru terbit’ atau ‘buku itu memua sejarah zaman baru’. Ketaksaan dapat terjadi bukan karena tafsiran gramatikal yang berbeda tetapi kaena masalah homonimi,sedangkan konteksnya tidak jelas.
7.3.7 Redundansi
Redundansi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihan penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Misalnya kalimat Bola itu ditendang oleh Dika tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan ‘Bola itu ditendang Dika’. Jadi tanpa menggunakan preposisi oleh. Penggunaan kata oleh inilah yang dianggap redundans,berlebih-lebihan.
7.4 PERUBAHAN MAKNA
Makna sebuah kata akan tetap sama, tetap sama, tidak berubah, tetapi dalam waktu yang relatif lama ada kemungkinan makna sebuah kata akan berubah. Ada kemungkinan ini bukan berlaku untuk semua kosakata yang terdapat dalam sebuah bahasa,melainkan hanya terjadi pada sejumlah kata saja,yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain:Pertama, perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi.Kedua, perkembangan sosial budaya.Ketiga, perkembangan pemakaian kata. Keempat,pertukaran tanggapan indra. Kelima,adanya asosiasi.
Perubahan makna kata atau satuan ujaran itu ada beberapa macam. Ada perubahan yang meluas, ada yang menyempit,ada juga yang berubah total. Perubahan yang meluas artinya, kalau tadinya sebuah kata bermakna ‘A’, maka kemudian menjadi bermakna ‘B’. Dan perubahan makna yang menyempit artinya, kalau tadinya seuah kata atau satuan ujaran itu memiliki makna yang sangat umum tetapi kini maknanya menjadi khusus atau sangat khusus. Secara konkret kalau tadinya,misalnya bermakna ‘A1’, ‘A2’, ‘A3’, ‘A4’, maka kini misalnya hanya bermakna ‘A4’. Sedangkan makna secara total, artinya makna yang dimiliki sekarang sudah jauh berbeda dengan makna aslinya. Umpamanya kata ceramah dulu bermakna ‘cerewet,banyak cakap’, sekarang bermakna ‘uraian mengenai suatu hal dimuka orang banyak’.
Dalam pembicaraan mengenai perubahan makna ini biasanya dibicarakan juga usaha untuk ‘menghaluskan’ atau ‘mengkasarkan’ ungkapan dengan menggunakankosakata yang memiliki sifat itu. Usaha menghaluskan ini dikenal dengan nama eufemia atau eufemisme, umpamanya,kata korupsi diganti dengan ungkapan menyalahgunakan jabatan. Usaha mengkasarkan atau disfemia sengaja dilakukan untuk mencapai efek pembicaan menjadi tegas. Umpamanya kata kalah digantikan dengan masuk kotak.
7.5 MEDAN MAKNA DAN KOMPONEN MAKNA
Kata-kata atau leksem-leksem dalam setiap bahasa dapat dikelompokkan atas kelompok-kelompok tertentu berdasarkan kesamaan ciri semantik yang dimiliki kata-kata itu. Umpamanya,kata-kata kuning,merah,hijau,biru,dan ungu berada dalam satu kelompok yaitu kelompok warna. Kata-kata yang berada dalam satu kelompok lazim dinamai kata-kata yang berada dalam satu medan makna atau satu medan leksikal. Dan usaha untuk menganalisis kata atau leksem atas unsur makna yang dimilikinya disebut analisis komponen makna atau analisis ciri-ciri makna atau juga analisis ciri-ciri leksikal.
7.5.1 Medan Makna
Medan makna (semantic domain, semantic field) atau medan leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu. Misalnya,nama-nama warna, nama-nama perabot rumah tangga, atau nama-nama perkerabatan, yang msing-masing merupakan satu medan makna. Perbedaan konsep penamaan: bahasa Indonesia berdasarkan usia , lebih tua atau lebih muda, sedangkan bahasa Inggris berdasarkan jenis kelamin,lelaki atau perempuan.
Kata-kata atau leksem-leksem yang mengelompok dalam satu medan makna,berdasarkan sifat hubungan semantisnya dapat dibedakan atas kelompok medan kolokasi dan medan set. Kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmantik yang terdapat antara kata-kata atau unsur-unsur leksikal itu. Contohnya kata-kata cabe, bawang, terasi,garam,merica, dan lada berada dalam satu kolokasi yaitu yang berkenaan dengan bumbu dapur.Kalau kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik,karena sifatnya yang linier,maka kelompok set menunjuk pada hubungan paradigmatik,karena kata-kata yang berada dalam satu kelompok set itu saling bias disubstitusikan. Pengelompokan kata atas medan makna ini tidak mempedulikan adanya nuansa makna,perbedaan makna denotasi dan konotasi dan hanya bertumpu pada makna dasar,makna denotative atau makna pusatnya saja.
7.5.2 Komponen Makna
Makna yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari sejumlah komponen kata itu. Komponen makna itu (yang disebut komponen makna.), yang membentuk keseluruhan makna kata itu. Komponen makna itu dapat dinalisis, dibutiri, atau disebutkan satu persatu, berdasarkan”pengertian-pengetian”yang dimilikinya. Kegunaan analisis komponen yang lain ialah untuk membuat prediksi makna-makna gramatikal afiksasi, reduplikasi, dan komposisi dalam bahasa Indonesia bahwa analisis komponen ini dapat digunakan untuk meramal kan makna gramatikal, dapat juga kita lihat pada proses reduplikasi dan proses komposisi. Proses reduplikasi terjadi pada dasar verba yang memiliki komponen makna /+sesaat/ memberi makna gramatikal ‘berulang-ulang’ seperti pada memotong-motong,memukul-mukul, dan menendang-nendang. Proses penggabungan leksem dengan leksem, terlihat juga bahwa komponen makna yang dimiliki oleh bentuk dasar yang terlibat dalam prose situ menentukan juga makna gramatikal yang dihasilkannya.
Chomsky (1965) rinsip-prinsip analisis yang dilakukan oleh Roman Jakobson dan para ahli antropologi itu digunakan untuk memneri ciri-ciri semantik terhadap semua morfem dalam daftar morfem yang melengkapi tata bahasa generatif transformasinya. Dan dengan member ciri-ciri seperti itu pada setiap butir leksikal maka akan dapat dijelaskan berterima atau tidaknya sebuah kalimat, baik secara leksikal maupun gramatikal.
7.5.3 Kesesuaian Semantik dan Sintaktik
Berterima tidaknya sebuah kalimat bukan hanya masalah gramatikal , tetapi juga masalah semantic. Ketidakberterimaan kalimat biasanya terjadi antara lain karena kesalahan gramatikal, kesalahan persesuaian leksikal, kesalahan informasi, kesalahan semantik, kesalahan itu berupa tidak adanya persesuaian semantik diantara konstituen yang membangun kalimat itu.
Analisis persesuaian semantic dan sintaktik ini tentu saja harus memperhitungkan komponen makna kata secara lebih terperinci dan keterperincian analisis lebih diperlukan lagi. Maka selain diperlukan keterperincian analisis, masalah metafora tampaknya juga perlu disingkirkan.